Mitra Bisnis Keluarga
Kerja sama yang diluncurkanbulan April 2022 antara Standard Chartered dan Mitra Bisnis Keluarga Ventura (MBK), sebuah pelopor keuangan mikro, dapat memberikan kesempatan kepada lebih dari 50.000 keluarga Indonesia yang tidak memiliki akses perbankan untuk mewujudkan impian bisnis mereka.
Banyak orang tidak menyadari betapa besar dan luasnya Indonesia. Indonesia merupakan negara kepulauan yang berisikan lebih dari 18.000 pulau dengan jarak timur ke barat yang mencapai 5.120 km. Selain itu, Indonesia juga merupakan salah satu dari rute perdagangan terbesar di dunia dengan sumber daya alam yang berlimpah dan potensi-potensi lainnya yang belum tersentuh.
Potensi tersebut termasuk kenyataan bahwa dari 181 juta penduduk dewasa di Indonesia, 51 persen diantaranya diperkirakan tidak memiliki akses dasar ke layanan keuangan saat ini. Pada tahun 2003, ini adalah tantangandan peluang yang disambut oleh pelopor keuangan mikro Indonesia Bernama Mitra Bisnis Keluarga Ventura (MBK).
Sekitar dua dekade yang lalu, sangatlah sulit bagi pemilik usaha mikro wiraswasta untuk mendapatkan pinjaman kecil sebesar lima ratus ribu hingga satu juta Rupiah dari lembaga perbankan maupun non-bank di Indonesia.
Di kala itu, meminjam uang dalam jumlah yang relatif kecil namun penting untuk berbagai usaha mereka seperti di warung atau gerobak keliling, mengharuskan mereka untuk berhubungan dengan para rentenir yang mengenakan suku Bunga pinjaman hingga 40 persen setiap bulannya. Dan meskipun bank-bank lokal lainnya dapat memberikan pinjaman kepada para petani dan nelayan, pinjaman tersebut biasanya diberikan dalam jumlah yang jauh lebih besar, sehingga seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan mereka.
Demografi yang kuat
Sebagai sebuah lembaga keuangan mikro (LKM) yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan Indonesia (OJK), MBK memilih untuk menempuh jalan baru – dengan berupaya memperkecil kesenjangan keuangan mikro Indonesia dengan memberikan pinjaman dengan jumlah kecil yang dikhususkan untuk para wanita wiraswasta untuk mendukung usaha mereka.
Berbeda dari perbankan tradisional, MBK menggunakan metodologi Bank Grameen, yang pertama kali dirintis pada tahun 1970-an oleh Profesor Muhammad Yunus dari Universitas Chittagong di Bangladesh sebagai sarana untuk memberikan pinjaman yang terjangkau bagi masyarakat miskin.
Melalui metodologi ini, peminjam tidak perlu membuka rekening bank, atau mengunjungi kantor cabang bank. Sebagai gantinya, seorang account officer dari MBK akan datang ke rumah atau tempat usaha peminjam. Peminjam tidak harus memberikan jaminan untuk mendapatkan pinjaman, karena agunan biasanya tidak terjangkau bagi mereka. Mereka membayar cicilan kepada MBK secara berkala, dengan hubungan yang dilandasi rasa saling percaya, tanpa melibatkan debt collector.
Model bisnis MBK bertujuan untuk memberikan pinjaman kepada kelompok perempuan pengusaha berpenghasilan rendah. Kelompok ini terdiri dari para kerabat dan tetangga yang umumnya berjumlah antara 15 dan 20 anggota. Account officer MBK mencairkan pinjaman dan mengumpulkan cicilan pembayaran setiap minggunya, di tempat atau rumah peminjam yang dipercaya oleh kelompok tersebut. Sistem pertanggungjawaban bersama ini berarti para anggota kelompok tersebut akan membantu jika ada peminjam yang untuk sementara tidak dapat membayar cicilan mereka. Asas saling-mendukung ini menjadi unsur yang sangat penting bagi system pinjam-meminjam ini.
“Sebagian besar peminjam perempuan berpenghasilan rendah takut untuk pergi, atau tidak dapat menjangkau kantor cabang sebuah bank, dan banyak dari mereka yang tidak mengerti tentang sistem keuangan atau perbankan,” jelas pendiri MBK Shafiq Dhanani. “Para rentenir menetapkan bunga sebesar 20 persen hingga 40 persen per bulan. Sementara itu, kami mengenakan bunga antara 20 persen hingga 25 persen per tahun, sehingga jelas ada perbedaan besar.”
Seperti yang diamati Shafiq, keunikan model ini diperkuat oleh tenaga kerja MBK. “Kami mempekerjakan 6.500 staf, dan 99 persen di antaranya adalah perempuan. Di lapangan, kami hanya mempekerjakan perempuan – mulai dari account officer yang mengunjungi klien kami, hingga manajer regional,” jelasnya.
Berdasarkan pengalama, Shafiq mengamati bahwa klien perempuan merasa lebih nyaman berurusan dengan perempuan lain. “Itulah kenapa kami menjalankan sistem ini, dan hal tersebut telah berjalan dengan baik bagi kami,” tambahnya. Secara global, 95 persen peminjam Grameen Bank adalah perempuan.
Menurut survei independen oleh California State University, Northridge di AS, model pinjaman mikro berbunga rendah MBK memungkinkan terjadinya perbaikan bagi para peminjam . “Kami menemukan bahwa persentase anggota di atas garis kemiskinan naik dari 19 menjadi 61 persen pada tahun kelima setelah mereka mengikuti program ini,” catat para peneliti.
Memberdayakan kemitraan
Menurut Shafiq, tantangan terbesar dalam penggalangan dana untuk perusahaan keuangan mikro adalah pada umumnya, bank lokal masih kurang mengenal metodologi Bank Grameen yang digunakan oleh pemberi pinjaman mikro dan seringkali terkejut ketika mengetahui bahwa agunan tidak diperlukan dari peminjam. Namun secara global, lembaga keuangan mikro mengklaim bahwa metodologi tersebut ternyata menghasilkan tingkat kredit bermasalah (Non Performing Loans) di kisaran satu hingga lima persen .
Pada tahun 2009, Standard Chartered menjadi bank pertama di Indonesia yang memberikan pinjaman keuangan mikro kepada MBK. Standard Chartered memiliki pengalaman luas dalam keuangan mikro, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di India, Bangladesh, Pakistan dan Afrika. Dengan demikian, Standard Chartered telah mengembangkan pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan pembiayaan lembaga keuangan mikro seperti MBK.
Kesepakatan pinjaman antara Standard Chartered dan MBK sebesar IDR280 miliar (USD18,6 juta) yang di tandatangani pada bulan April lalu, diperkirakan akan memberi manfaat kepada lebih dari 55.000 rumah tangga di Indonesia.
Secara global, lebih dari 1,7 miliar orang di seluruh dunia masih belum memiliki rekening bank, dengan mayoritas berada di Asia dan Afrika . Pasar keuangan mikro global memainkan peran yang penting dan diperkirakan akan melampaui USD300 miliar pada tahun 2026.”
“Lembaga pembiayaan mikro seperti MBK memberikan dampak positif bagi usaha kecil yang berambisi untuk maju, dan Standard Chartered dengan senang hati membantu untuk memperluas jejak mereka,” kata Andrew Chia, Standard Chartered Cluster CEO, Indonesia and ASEAN markets (Australia, Brunei and the Philippines).
Pengentasan kemiskinan masih merupakan sebuah tantangan. MBK memperkirakan bahwa saat ini 75 persen dari 1,5 juta nasabahnya masih hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut Pak Shafiq, 70 persen peminjam MBK saat ini adalah pedagang kecil, dan sisanya bekerja di bidang pertanian, kerajinan, peternakan dan jasa.
Sebuah pemain kunci dalam kemitraan antara Standard Chartered dan MBK adalah Asian Development Bank (ADB). ADB bermitra erat dengan lembaga keuangan mikro dan bank untuk meningkatkan akses terhadap pembiayaan lokal, dan memenuhi kebutuhan keuangan jutaan orang.
Memperluas jangkauan
Seiring berkembangnya industri, demikian pula dengan potensi risiko utang berlebih. Shafiq mengatakan bahwa meskipun MBK memiliki sistem untuk pengecekan hal tersebut , MBK tidak dapat serta merta mengontrol kliennya dalam mengambil pinjaman berbunga rendah dari perusahaan lain. “Saya pikir ini adalah tantangan kita yang paling serius saat ini,” katanya.
Dia menyarankan agar industri keuangan mikro dapat bekerja sama dalam membatasi jumlah pinjaman yang tersedia per keluarga hingga maksimal tiga atau empat pinjaman. “Ini adalah standar di negara lain dengan risiko utang berlebih,” catatnya.
Walaupun ruang pembiayaan mikro semakin kompetitif di Indonesia, peluang bisnisnya tetaplah besar. Setelah awalnya fokus di Jawa, MBK pertama kali membuka cabang di Sumatera pada tahun 2019. Saat ini, MBK memiliki 844 kantor cabang di seluruh Indonesia, termasuk 149 di Sumatera dan 14 di Bali.
“Kita akan jelajahi tempat lain seperti Indonesia timur, mungkin Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan,” kata Pak Shafiq. “Tapi semua itu akan membutuhkan banyak sumber daya, keahlian, dan dana. Dan di sinilah mitra seperti Standard Chartered memainkan peran penting.”
Standard Chartered collaborates with Mitra Bisnis Keluarga to support women entrepreneurs to lift the participation in Indonesia.